Akhir bulan Juni 2013, tepatnya tanggal 29 - 30 Juni, saya dan sahabat jalanku, Mayu, ikut trip singkat ke Baduy. Ide ini bermula saat atasanku bercerita tentang pengalaman perjalanan wisatanya ke Baduy Luar bersama teman-teman kantornya. Tapi, rasanya sayang kalo hanya sampai Baduy Luar saja. Kenapa tidak sekalian masuk ke dalam?
Setelah cari-cari tripnya, lumayan banyak juga trip ke Baduy Dalam. Kami pun memilih harga trip yang termurah, yaitu 90 ribu. Dan setelah baca-baca, ternyata memang banyak aturan-aturan yang harus ditaati kalo mau ke Baduy Dalam, berbeda dengan di Baduy Luar yang siapa saja boleh masuk tanpa banyak peraturan yang memberatkan. Beberapa peraturan yang sempat mengagetkan seperti tidak boleh mengambil foto, tidak boleh memakai peralatan elektronik, tidak boleh memakai sabun dan pasta gigi karena dianggap mencemari lingkungan, dan orang asing tidak diperbolehkan masuk. Tapi, demi sampai disana, kami akan rela tidak mandi 2 hari dengan sabun :p.
Perjalanan dimulai hari Sabtu, tanggal 29 Juni. Peserta trip berkumpul di Stasiun Tanah Abang pukul 07.00. Saya berangkat dari Stasiun Depok sebelum jam 6. Saat di commuter line, saya bertemu dengan seorang perempuan yang membawa tas gunung gede. Wah, ternyata mbak-mbak ini mau ikut trip ke Baduy juga. Waktu itu ada 2 kelompok trip yang akan berangkat ke Baduy, jadi rame sekali suasananya... Grup kami sendiri saja berjumlah 45 orang, banyak sekali kan.
Dari Stasiun Tanah Abang, kami naik kereta Rangkas Jaya pukul 08.00 menuju Rangkasbitung. Sesampainya di Stasiun Rangkasbitung (sekitar pukul 9.30), kami sudah dijemput 3 mobil elf. Perjalanan berlanjut menuju Desa Ciboleger. Desa ini merupakan salah satu pintu masuk ke Suku Baduy.
Patung Selamat Datang di Desa Ciboleger
Tongkat yang saya bawa adalah tongkat yang dijual oleh anak-anak Desa Ciboleger. Satu tongkat dijual seharga 5 ribu. Ini dia salah satu gadis kecil penjual tongkatnya.
Gadis kecil penjaja tongkat kayu
Di sini terdapat beberapa warung makan, jadi dianjurkan mengisi perut sebelum perjalanan panjang ke Baduy Dalam. Setelah sholat Dzuhur dan kenyang makan, jam 13.00 kami mulai masuk ke Baduy Luar.
Di Baduy Luar, perjalanan sudah mulai menanjak. Dan inilah awal dari perjalanan panjang kami...
Beberapa teman membawa tas gunung, sedangkan saya hanya membawa tas ransel yang berisi baju ganti, makanan, dan sleeping bag. Walaupun cuma ransel, tapi rasanya berat juga. Apalagi jalanan naik turun begini. Tapi tenang saja, bagi yang tidak kuat membawa tas bawaan yang berat, banyak anak-anak Baduy yang mau membawakan tas kita, dengan tip kurang lebih 30 ribu sekali jalan. Tapi kalo dipikir-pikir, 30 ribu sepertinya harga yang murah untuk membawakan barang kita mendaki bukit yang lamanya bisa berjam-jam itu.
Agus, salah satu anak Baduy Dalam
yang siap membawakan barang kita
Pemandangan selama perjalanan adalah beberapa perkampungan dengan rumah adat suku Baduy. Ada pula beberapa ibu yang sedang membuat kain tenun atau menumbuk kopi.
Rumah adat Suku Baduy
Setelah beberapa menit perjalanan, sampailah kami pada jembatan bambu yang pertama. Ini dia :)
Di Baduy Luar ini, banyak sekali bangunan-bangunan, seperti rumah adat tetapi lebih kecil. Bangunan ini adalah lumbung padi, tempat penduduk Baduy menyimpan hasil panen mereka. Seperti ini bangunannya.
Lumbung padi Suku Baduy
Perjalanan terus berlanjut, mendaki gunung, lewati lembah, sungai mengalir indah... *kok jadi nyanyi*. Sesekali kami istirahat, numpang duduk di teras rumah penduduk, sembari menunggu teman-teman yang masih tertinggal di belakang.
Dan, terjadilah peristiwa itu. Saat berjalan, tiba-tiba kami mendengar suara seperti air terjun. Kami pikir, memang ada air terjun di depan. Tapi ternyata, itu suara hujan yang turun... Bancana bagi saya karena nekat pergi tanpa membawa jas hujan. Basahlah semua badan, basahlah semua isi tas, termasuk baju ganti saya :'(. Dan yang paling mengkhawatirkan adalah peralatan elektronik, HP dan kamera saya. Untung seorang teman berbaik hati memberikan tas plastik untuk menyimpan barang-barang yang harus diselamatkan.
Karena hujan, jalanan menjadi sangat licin. Banyak diantara kami yang jatuh terpeleset beberapa kali. Bahkan saya pun termasuk yang terpeleset sekali saat menyeberang sungai kecil.
Dengan kondisi basah kuyup, sampailah kami di perbatasan antara Baduy Luar dan Dalam, yang berupa jembatan bambu lagi. Mulai di sini, kami sudah tidak diperbolehkan mengambil foto lagi. Kami kira perumahan penduduk sudah tidak jauh dari sini, tapi ternyata... masih jauh juga. Setelah treking kurang lebih 5-6 jam, sampailah kami di perumahan penduduk. Kami sampai sekitar pukul 18.00, tapi ada juga yang baru sampai pukul 19.00. Benar seperti kata orang, gelap tak ada listrik.
Badan memang basah kuyup, plus tambah terkena lumpur saat terjatuh, tapi mau mandi pun hanya ada sungai yang dipakai beramai-ramai, ditambah tidak boleh pake sabun pula. Akhirnya, kami hanya membasuh tubuh dengan air sungai. Kami menginap di beberapa rumah penduduk, sebagian rumah untuk wanita dan sebagian rumah untuk laki-laki. Selanjutnya, kami makan malam dengan bekal yang kami bawa, alias mie instan yang dimasak oleh pemilik rumah. Tapi sepiring mie instan rasanya sangat luar biasa setelah menempuh perjalanan yang panjang, naik turun bukit. Kami makan dengan piring, tanpa ada sendok. Untung ada teman yang sudah berjaga-jaga membawa sendok plastik. Untuk minum, kami memakai gelas yang terbuat dari bambu, sangat alami sekali.
Di perkampungan ini, ada penduduk yang berjualan berbagai cindera mata khas Baduy seperti gelang, gantungan kunci, ikat kepala Baduy, kain tenun, bahkan batik khas Baduy yang berwarna biru dan hitam. Ada juga yang berjualan snack dan air mineral. Jadi, tak perlu membawa banyak air mineral saat berangkat karena kita bisa membeli air mineral disini untuk bekal pulangnya. Saya pun membeli satu kain batik Baduy seharga 40 ribu untuk kenang-kenangan. Dan karena baju ganti saya yang ada di tas basah semua, saya juga membeli kaos bertuliskan Baduy seharga 30 ribu. Padahal, uang saku saya cuma 100 ribu, itupun sudah berkurang tadi saat makan siang. Terpaksa deh pinjam uang ke teman jalan, hehe.
Rumah di Baduy Dalam juga sangat sederhana. Pada dasarnya, rumah di Baduy Dalam sama dengan di Baduy Luar, sama-sama terbuat dari bambu dan beralaskan papan kayu. Di rumah yang kami tempati, hanya ada 1 kamar tidur yang langsung bersebelahan dengan dapur. Penduduk suku Baduy tidur tanpa beralaskan kasur, hidup tanpa listrik, dan memasak dengan kayu bakar. Untung kami membawa sleeping bag jadi tidak terlalu kedinginan. Di bawah rumah, ada ruangan yang dipakai untuk kandang ayam yang siap membangunkan pemilik rumah setiap paginya.
Pemilik rumah yang kami tempati adalah sepasang suami istri dengan satu orang anak berumur sekitar 4 tahun. Saat itu, hanya ada sang istri saja di rumahnya, sementara suami dan anaknya menginap di rumah orang tuanya. Hari itu adalah hari persiapan pernikahan adik si pemilik rumah, jadi hampir semua orang sibuk ikut membantu menyiapkan hajatan. Pantas saja, saat kami berjalan tadi sore, ada bapak-bapak yang sedang menangkap ikan di sungai. Cara menangkap ikannya pun sangat alami, hanya dengan memakai kayu tombak. Dan keesokan harinya kami baru tahu, ikan ini akan dimasak dengan cara alami pula, yaitu dengan diasapi.
Penduduk Baduy Dalam hanya diperbolehkan menikah dengan sesama penduduk Baduy Dalam. Bahkan antara Baduy Dalam dengan Luar juga tidak diijinkan menikah. Penduduk Baduy Dalam tidak diperbolehkan jalan bersampingan, jadi harus baris depan-belakang satu per satu. Mereka juga dilarang menggunakan kendaraan sehingga kemanapun mereka pergi, mereka harus berjalan kaki. Tapi hebatnya, sering mereka berjalan hingga ke Jakarta, lalu menginap di rumah teman atau kenalannya. Bahkan beberapa ada yang pernah menginap di hotel mewah di Jakarta. Selain itu, mereka tidak diperkenankan memakai alas kaki. Baju yang digunakan juga sangat khas sekali, warna hitam atau putih dan memakai ikat kepala. Jika diketahui ada penduduk yang melanggar salah satu peraturan, makan akan dikenakan hukuman bahkan bisa diusir dari Baduy Dalam.
Ibu pemilik rumah yang kami tempati sehari-hari bekerja dengan membuat kain tenun. Kami sempat ditawari jualan hasil karya ibu, yang berupa kain dan selendang. Satu kain tenun bisa dijual dengan harga 150-200 ribu. Bagus memang, tapi sayangnya saya tidak membawa uang.
Malam itu kebanyakan dari kami tidak bisa tidur. Sampai tengah malam, kelompok cowok di rumah sebelah masih terdengar bercerita. Ada juga yang tidak bisa tidur karena saking dinginnya. Paginya, setelah ayam berkokok, kami langsung bangun dan menuju kali, mumpung masih gelap. Dengan memakai sarung dan berbekal senter, kami menuju sungai. Kami cuci muka dan buang air kecil bergantian. Sementara sebagian dari kami turun ke sungai, teman-teman yang lainnya berjaga di atas agar tidak ada kaum laki-laki yang mendekati. Jadi, setiap ada orang datang ke sungai, pasti akan ditanya dulu, laki-laki apa perempuan? (karena kondisi yang sangat gelap sehingga tidak bisa membedakan antara kaum adam dan kaum hawa). Kalau yang datang perempuan, maka akan dipersilakan untuk bergabung di sungai. Tapi kalau yang datang laki-laki, disuruh menunggu sampai kami selesai bersih-bersih di sungai. Tapi, pagi itu, tak satupun dari kami yang berani mandi, dingiiiinnn sekaliiii....
Perjalanan dilanjutkan setelah pukul 7 pagi. Sebelumnya kami sudah sarapan nasi + mie + sarden bekal kami. Semuanya dimasak oleh ibu pemilik rumah. Beliau juga berbaik hati membagikan pisang, hasil panen dari kebunnya sendiri. Baik sekali ibu ini...
Jalan pulang kami berbeda dengan jalan yang dilalui saat berangkat. Perjalanan kali ini melewati hutan, masih naik turun bukit juga. Enaknya, jalanan teduh karena di kanan kiri penuh pepohonan besar. Tapi, di tengah-tengah perjalanan, kami juga melihat ladang yang sedang diolah, yang nantinya akan digunakan untuk menanam padi dengan sistem tadah hujan.
Akhirnya, sampai juga kami di perbatasan antara Baduy Dalam dengan Luar. Tapi kali ini tidak berupa jembatan lagi. Segera kami menyalakan HP dan kamera. Malangnya, kamera saya jadi berembun lensanya akibat kehujanan kemarin. Alhasil, foto-fotonya pun jadi blur. Dan untuk HP, saya belum berani menyalakannya, takut masih basah. Mungkin perlu dijemur terlebih dahulu sebelum dinyalakan, hehe.
Perjalanan berikutnya adalah menuju Jembatan Akar. Jembatan ini sangat terkenal karena terbuat dari akar-akar pepohonan yang tumbuh disana, walaupun sekarang sudah diperkuat dengan bambu untuk alasnya. Dan setelah beberapa kali turun di turunan yang sangat curam dan licin, sampailah kami disana. Alhamdulillah, tidak tergelincir saat menuruni turunan yang curam itu. Sekali tergelincir saja, kanan kirinya adalah jurang. Dan lebar jalanan itu mungkin hanya setengah meter. Wowww banget deh pokoknya.
Jembatan Akar
Setelah dari Jembatan Akar, perjalanan masih terus berlanjut. Saya hanya berbekal 2 botol air mineral dan ternyata kurang. Tapi alhamdulillah, kami menemukan sumber mata air di perjalanan. Jadi, kami isi penuh semua botol kosong dan tanpa pikir panjang langsung kami minum walaupun itu air mentah, daripada pingsan dehidrasi kehausan di jalan.
Air penyelamat perjalanan kami
Ternyata kami masih melewati satu jembatan lagi, tapi ini kali ini jembatannya sudah lebih modern, sepertinya pertanda kalau kami akan segera keluar dari Baduy Luar.
Akhirnya setelah berjalan lagi, kami menemukan penduduk non Baduy. Malah, sekitar 1 jam sebelum perjalanan berakhir, ada beberapa mas-mas ojek yang menawarkan jasanya, hehe. Lah, lucu dong kalo habis treking jauh masak lanjut naik ojek? Tapi ternyata, ada beberapa teman yang mau ngojek juga. Mungkin karena sudah tidak tahan capeknya lagi.
Kami tiba di rumah penduduk setelah jam 12.00. Begitu sampai di rumah penduduk, tiga elf sudah menunggu kami. Hal yang pertama kami lakukan adalah membeli minuman, setelah itu bersih-bersih ke kamar mandi dan sholat Dzuhur.
Elf yang akan mengantar kami ke stasiun
Seusai sholat, kami pun melanjutkan perjalanan ke Stasiun Rangkasbitung. Hari sudah sore. Kami mendapat kereta jam 16.00. Tapi, penuhnyaaaaa minta ampun. Sebagian besar dari kami tidak kebagian tempat duduk. Alhasil, ngglesorlah teman-teman di lantai kereta.
Ada satu hal yang menarik. Setelah saya berhasil mendapat tempat duduk dengan umpel-umpelan (harusnya 1 kursi diisi 2 penumpang, ini diisi 3 penumpang), saya mengeluarkan botol air mineral untuk diminum. Tapi eh tapi... Kok ternyata ada tanah dan lumut di dalam air. Berarti air yang kami minum dari tadi pagi juga begitu. Akhirnya ga tega juga minumnya, tak apalah kehausan, toh udah di kereta ini. Walaupun sebenarnya, kami tidak mengalami sedikit sakit perutpun setelah minum air gunung tadi.
Perjalanan pulang kali ini sangat berbeda dengan berangkatnya. Sudah kereta penuh, berhentinya di setiap stasiun lamaaaa pula. Sepertinya lebih lama berhenti di stasiunnya daripada jalannya. Kami tiba di Stasiun Tanah Abang sekitar pukul 18.00. Langsung deh cari makan sebelum melanjutkan naik commuter line ke Depok.
Keesokan paginya, saya harus masuk kerja. Walaupun badan pegelnya kaya apa, tapi saya puas sekali, bisa melalui perjalanan yang sangat indah 2 hari ini...
Walaupun hanya semalam di Baduy Dalam, tetapi sangat-sangat mengesankan dan tak akan terlupakan :)