Kamis, 03 Juli 2014

Monpera, Monumen Perjuangan Rakyat Sumatera Bagian Selatan

Berkesempatan menghadiri pernikahan salah satu sahabat di Bumi Sriwijaya, akhirnya kesampaian juga menginjakkan kaki di kota pempek ini. Berhubung pernikahannya dilaksanakan pada hari Minggu, maka tidak akan saya sia-siakan untuk jalan-jalan di hari Sabtunya.

Berangkat dari Jakarta Sabtu pagi dengan tiket pesawat gratisan dari Garuda *untung point GFFnya pas banget untuk ditukar tiket ke Sumatera*, saya berangkat dengan seorang teman yang memang wong kito galo. Sesampainya di Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II, saya nebeng mobil jemputan teman sampai jalan raya yang ada angkutan umumnya.

Perjalanan dimulai dengan naik bus kota jurusan Kertapati - 12 atau Plaju - 12. Begitu naik bus, langsung kaget... Ternyata tidak cuma angkot yang suka nyetel musik keras-keras di dalam mobil, bus pun juga nyetel musik yang luar biasa kencengnya. Sampai-sampai harus teriak di telinga kondekturnya untuk nanya. Tapi untungnya tarifnya hanya 3 ribu rupiah saja.

Saya diberi tahu teman agar turun di air mancur dekat Masjid Agung. Saat bus berhenti menurunkan saya, saya bingung, kok nggak ada air mancurnya??? Oleh si abang kondektur, saya disuruh nyebrang lewat jembatan penyeberangan. Sampailah saya di Masjid Agung. Berhubung sedang tidak sholat, saya tidak masuk ke dalam masjid. Dari papan petunjuk di jalan, saya membaca arah Monpera. Ternyata letak Monpera hanya di seberang Masjid Agung.

Waktu itu siang hari dan sedang terik-teriknya. Saya langsung membaca tulisan MONPERA di depan museum. 

Halaman Depan Monpera
Halaman Monpera lumayan luas, jadi lumayan juga panasnya saat berjalan menuju museumnya. Lalu saya mencari dinding relief bertuliskan kalimat Jenderal Sudirman seperti yang saya lihat di internet beberapa hari sebelumnya. Ternyata di samping museum memang ada relief, bahkan saya baru tahu kalau ada dua relief. Satu di samping kanan museum, dan satu lagi di samping kirinya. Dua relief yang mengapit monumen ini menggambarkan pertempuran lima hari lima malam dan perjuangan pra kemerdekaan. Semboyan perjuangan pada saat itu adalah "Patah tumbuh hilang berganti, hilang satu tumbuh seribu".

Relief di Sisi Kanan Monpera
Relief di Sisi Kiri Monpera
Di halaman samping Monpera, tampak beberapa anak berseragam SMA berbaring di rerumputan. Mereka sedang asyik berfoto, mungkin anak-anak kelas 3 yang sudah selesai ujian.
Monpera diresmikan pada tanggal 23 Februari 1988 untuk mengenang jasa-jasa para pahlawan bangsa sebagai titik tolak generasi muda dalam mengisi kemerdekaan dan pembangunan. Berdasarkan informasi yang tertulis di depan museum, Monpera memiliki fungsi untuk menggali kembali kesadaran sejarah perjuangan dalam menegakkan kemerdekaan nasional. Sedangkan sifatnya untuk mengingatkan semua aktivitas perjuangan hikmah agar menjadi suri teladan bagi generasi penerus cita-cita bangsa.
Adapun bentuk bangunan Monpera sendiri cukup menarik dan terdapat burung garuda besar di bagian depannya. Bantuk bangunan Monpera adalah melati berkelopak lima. Keputihan melati melambangkan kesucian dan kemurnian perjuangan para pahlawan. Proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 dilambangkan dengan tinggi dinding 17, jumlah jalur tampak depan 8, jumlah jalur dan bidang 45. Lima bagian dinding monumen melambangkan lima daerah perjuangan rakyat Sumatera bagian selatan, yaitu Sumatera Selatan,  Lampung, Jambi, Bengkulu, dan Kepulauan Bangka Belitung. Sedangkan jalur 9, 3 tampak belakang, 3 kiri dan kanan mengandung makna kebersamaan. Terdapat juga angka 9 yang melambangkan Palembang mengenal Batanghari Sembilan, Pucuk Jambi Sembilan Lurah, dan Lampung Siwo Mego.

Bentuk Bangunan Monpera
Selesai memutari bangunan Monpera, saya berkeinginan untuk masuk ke dalam museumnya. Tetapi anehnya, pintu museum dalam keadaan terkunci. Atau mungkin memang tidak diperbolehkan masuk bagi umum, atau tutup kalau hari libur, pikir saya dalam hati. Tapi untungnya tak lama kemudian datang seorang bapak-bapak membawa kuncinya, membukakan pintu museum dan mempersilahkan saya masuk.

Ruangan pertama yang saya masuki tidak begitu berukuran besar untuk sebuah museum. Tapi saya baru tahu dari bapak penjaga pintu, kalau kita bisa naik ke atas sampai ke lantai enam. Bahkan di lantai teratas, kita bisa keluar melihat pemandangan Kota Palembang dari atas. 

Tangga yang Menghubungkan Setiap Lantai

Penasaran, saya minta ijin untuk naik ke atas. Tapi sayangnya bapak penjaga museum tidak bisa menemani saya ke atas. Baiklah, saya bisa naik sendiri kok Pak. Dan ternyata di setiap lantainya memang ada ruangan-ruangan lagi. Di setiap ruangan ini tersimpan foto-foto pada saat jaman perjuangan, berbagai macam senjata yang digunakan, juga patung-patung replikanya.

Foto-Foto dan Senjata yang Dipajang di Dalam Museum


Sebenarnya, agak serem juga sih berada di museum enam lantai seorang diri. Tapi berhubung sudah sampai disini, rugi rasanya kalau tidak melanjutkan perjalanan samapi lantai atas.

Setelah sampai di lantai lima, ada sebuah pintu kayu. Saya pikir pintu inilah yang harus dibuka untuk keluar melihat pemandangan sekitar. Eh, ternyata pintunya terkunci, berarti bukan yang ini karena kata bapak penjaga museum, pintunya tinggal dibuka saja kalau mau keluar melihat pemandangan. Dan saya pun melanjutkan naik satu lantai lagi.

Sesampainya di lantai tujuh, saya langsung mencari pintu keluarnya. Namun tak ada satu pintupun disana. Ternyata pintu yang tersedia bukanlah pintu biasa seperti yang ada dalam bayangan saya. Pintunya terdapat di atas atap, berbentuk lubang bulat, jadi harus naik tangga kecil dulu untuk menuju pintunya. Oke, mari kita naik tangga terakhir demi pemandangan yang saya harapkan. Lagipula tangga ini tidak seberapa tingginya dibandingkan tangga-tangga yang sudah saya lalui sebelumya.

Tangga Terakhir untuk Keluar ke Lantai Paling Atas
Tapi oh tapi... Ternyata pintunya terbuat dari besi yang lumayan beratnya, dan sayapun tidak kuat untuk membukanya...Oh tidaaakk...

Ya sudahlah, mungkin memang belum rejeki saya, hehe. Meskipun agak kecewa, tapi saya masih harus turun kembali sampai ke lantai satu lagi. Karena tadi pagi belum sempat sarapan, jadi menuruni enam lantai dengan tangga terasa lumayan beratnya...

Sesampainya di bawah, saya mengucapkan terima kasih kepada bapak penjaga museum. Setelah saya keluar, ternyata museumnya dikunci lagi, mungkin karena memang lagi sepi. Tapi untuk masuk ke museum ini, tidak perlu membayar tiket masuk. Kita cukup mengisi buku tamu yang tersedia. Atau mungkin karena saya hanya sendiri jadi digratisin? Entahlah, hehehe....